Sabtu, 17 Maret 2012

KHALAF: AHLUSUNNAH (AL-ASYARY DAN AL-MATURID


“KHALAF: AHLUSUNNAH (AL-ASYARY DAN AL-MATURIDI)”

Kata khalaf biasanya digunakan untuk merujuk para ulama yang lahir setelah abad III H dengan karakteristik yang bertolak belakang dengan apa yang dimiliki salaf. Diantaranya tentang penakwilan terhadap sifat-sifat Tuhan yang serupa dengan makhluk pada pengertian yang sesuai dengan ketinggian dan kesuciannya.
Adapun ungkapan ahlusunnah (sering juga disebut dengan sunni) dapat dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu umum dan khusus. Sunni dalam pengertian umum adalah lawan kelompok syi’ah. Dalam pengertian ini, Mu’tazilah sebagaimana juga Asy’ariyah masuk dalam barisan sunnni. Sunni dalam pengertian khusus adalah mazhab yang berada dalam barisan Asy’ariyah dan merupakan lawan Mu’tazilah.
Term ahlusunnah banyak dipakai setelah munculnya aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah, dua aliran yang menentang ajaran-ajaran Mu’tazilah. Harun Nasution dengan meminjam keterangan Tasy Kubra Zadah menjelaskan bahwa aliran ahlusunnah muncul atas keberanian dan usaha Abu Al-Hasan al-Asy’ari sekitar tahun 300H.
A.    Al-Asy’ari
1.      Riwayat Singkat Al-Asy’ari
Nama lengkap al-Asy’ari adalah Abu Al-Hasan Ali bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Bundah bin Abi Musa al-Asya’ari. Menurut beberapa riwayat al-Asy’ari lahir di Bashrah pada tahun 260H/815 M ketika berusia lebih dari 40 tahun. Ia hijrah ke kota Baghdad dan wafat disana pada tahun 324 H/935 M.
Menurut Ibn Asakir, ayah al-Asy’ari adalah seseorang yang berfaham ahlusunnah dan ahli hadits. Ia wafat ketika al-Asy’ari masih kecil sebelum wafat, ia berwasiat kepada seorang sahabatnya yang bernama Zakaria bin Yahya As-Saji agar mendidik al-Asy’ari. Ibnu Al-Asy’ari speninggal ayahnya, menikah lagi dengan seorang tokoh Mu’tazilah yang bernama Abu Ali al-Jubabi (w. 303H/915 M). ayah kandung Abu Hasyim al-Jubbai (w. 321 H/934 M). berkat didikan ayah tirinya itu, al-Asy’ari itu kemudian menjadi tokoh Mut’azilah. Ia sering menggantikan al-Jubbai dalam perdebatan tentang lawan-lawan Mu’tazilah. Selain itu banyak menulis buku yang membela alirannya.
Al-Asy’ari menganut paham Mu’tazilah hanya sampai ia berusia 40 tahun. Selain itu, secara tiba-tiba ia mengumumkan dihadapan jamaah mesjid Bshrah bahwa dirinya telah meninggalkan faham Mu’tazilah dan menunjukkan keburukan-keburukannya. Menurut Ibnu Asakir yang melatarbelakangi al-Asy’ari meninggalkan faham Mu’tazilah adalah pengakuan al-Asy’ari telah bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW sebanyak tiga kali, yaitu pada malam ke-10, ke-20, dank e-30 bulan ramadhan. Dalam tiga mimpinya itu, Rasulullah memperingatkan agar meninggalkan faham Mu’tazilah dan membela faham yang telah diriwayatkan dari beliau.
2.      Doktrin-Doktrin Teologi Al-Asy’ari
Al-Asy’ari secara esensial menampilkan sebuah upaya sintesis antara formulasi ortodoks ekstrim di satu sisi dan Mu’tazilah di sisi lain. Dari segi etosnya, pergerakan tersebut memiliki ortodoks. Menurut watt, barangkali dipengaruhi teologi kullabilah (teologi sunni yang dipelopori Ibn Kullah, w. 854 M). pemikiran-pemikiran al-Asy’ari yang terpenting adalah berikut ini:
a.       Tuhan dan Sifat-Sifatnya
Perbedaan pendapat di kalangan mutakalimin mengenai sifat-sifat Allah tak dapat dihindarkan walaupun mereka setuju bahwa mengesakan Allah adalah wajib. Al-Asy’ari berhadapan dengan kelompok Mujassimah (antropomorfis) dan kelompok Musyabbihah yang berpendapat bahwa Allah mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam al-Qur'an dan sunnah dan sifat-sifat itu harus dipahami menurut arti harfiahnya. Di lain pihak, ia berhadapan dengan kelompok Mu’tazilah yang berpendapat bahwa sifat-sifat Allah tidak lain selain esensi-Nya.
b.      Kebebasan dalam Berkehendak (free-will)
Walaupun yang fatalistic dan menganut faham pradeterminisme semata-mata dan Mu’tazilah yang menganut faham kebebasan mutlak dan berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri, al-Asy’ari membedakan antara khaliq dan kasb. Menurutnya, Allah adalah pencipta (khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang mengupayakannya (muktasib). Hanya Allah-lah yang mampu menciptakan segala sesuatu (termasuk keinginan manusia).
c.       Akal dan Wahyu dan Kriteria Baik dan Buruk
Walaupun al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu, mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu sementara Mu’tazilah mengutamakan akal.
d.      Qadimnya al-Qur'an
Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim dalam persoalan qadimnya al-Qur'an. Mu’tazilah yang mengatakan bahwa al-Qur'an diciptakan (makhluk) sehingga tidak qadim serta pandangan mazhab Hambali dan Zahiriyah yang menyatakan bahwa al-Qur'an adalah kalam Allah (yang qadim dan tak diciptakan). Zahiriyah bahkan berpendapat bahwa semua huruf, kata dan bunyi al-Qur'an adalah qadim. Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan yang saling bertentangan itu. Al-Asy’ari mengatakan bahwa walaupun al-Qur'an terdiri atas kata-kata, huruf, dan bunyi semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak qadim.
Nasution mengatakan bahwa al-Qur'an bagi al-Asy’ari tidaklah diciptakan sebab kalau ia diciptakan sesuai dengan ayat QS. An-Nahl: 40.
$yJ¯RÎ) $uZä9öqs% >äóÓy´Ï9 !#sŒÎ) çm»tR÷Šur& br& tAqà)¯R ¼çms9 `ä. ãbqä3uŠsù ÇÍÉÈ 
Artinya: "Sesungguhnya perkataan kami terhadap sesuatu apabila kami menghendakinya, kami Hanya mengatakan kepadanya: "kun (jadilah)", Maka jadilah ia." (QS. An-Nahl: 40)
e.       Melihat Allah
Al-Asy’ari tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrim terutama zahiriyah, yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat dan mempercayai bahwa Allah bersemayam di Arsy. Selain itu, ia tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang mengingkari ru’yatullah (melihat Allah) di akhirat. Al-Asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak dapat digambarkan kemungkinan ru’yat dapat terjadi manakala Allah sendiri yang menyebabkan dapat dilihat atau bilamana ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.
f.       Keadilan
Pada dasarnya al-Asy’ari dan Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil. Mereka hanya berbeda dalam memandang makna keadilan, al-Asy’ari tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga dia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah penguasa mutlak. Dengan demikian, jelaslah bahwa Mu’tazilah mengartikan keadilan dari visi manusia yang memiliki dirinya, sedangkan al-Asy’ari dari visi bahwa Allah adalah pemilik mutlak.
g.      Kedudukan Orang Berdosa
Al-Asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang dianut Mu’tazilah mengingat kenyataan bahwa iman merupakan lawan kufur. Predikat bagi seseorang haruslah salah satu diantaranya jika tidak mukmin, ia kafir. Oleh karena itu, al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufur.
B.     Al-Maturidi
1.      Riwayat Singkat al-Maturidi
Abu Manshur al-Maturidi dilahirkan di Maturid, sebuah kota kecil di daerah Samarkand, wilayah Trmsoxiana di Asia Tengah, daerah yang sekarang disebut Uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 hijriyah. Ia wafat pada tahun 333 H/944 M). gurunya dalam bidang fiqih dan teologi bernama nasyr bin Yahya al-Balakhi. Ia wafat pada tahun 268 H, al-Maturidi hidup pada masa khalifah al-Mutawakil yang memerintah tahun 232-274 H/847-861 M.
Karir pendidikan al-Maturidi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi fiqih. Ini dilakukan untuk memperkuat pengetahuan dalam menghadapi faham-faham teologi yang banyak berkembang pada masyarakat Islam, yang dipandangnya tidak sesuai dengan kaidah yang benar menurut akal dan syara. Pemikiran-pemikirannya banyak dituangkan dalam bentuk karya tulis, diantaranya ialah kitab tauhid, ta’qil al-Qur'an, makhaz asy-Asy’ari, al-Jadl, ushul fiqih ad-Din, maqalat fi al-Ahkam radd awa’il al-Abdillah li al-Ka’bi, radd al-ushul al-khamisah li Abu Muhammad al-Bahili, radd al-Imamah li al-Ba’ad ar-Rawafid, dan kitab radd ‘ala al-Qaramatah. Selain itu, ada pula karangan-karangan yang diduga ditulis oleh al-Maturidi yaitu risalah fi al-‘Aqaid dan Syarh fiqh al-Akbar.
2.      Doktrin-Doktrin Teologi al-Maturidi
a.       Akal dan Wahyu
Dalam masalah baik dan buruk, al-Maturidi berpendapat bahwa penentu baik dan buruknya sesuatu itu terletak pada sesuatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan syari’ah hanyalah mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Ia mengakui bahwa akal tidak selalu mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk, namun terkadang pula mampu mengetahui sebagian baik dan buruknya sesuatu. Dalam kondisi demikian, wahyu diperlukan untuk dijadikan sebagai pembimbing.
Al-Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada 3 macam yaitu;
1)      Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu
2)      Akal dengan sendirinya hanya mengetahui keburukan sesuatu itu
3)      Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu.
Mu’tazilah mengatakan bahwa perintah melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk itu didasarkan pada pengetahuan akal. Al-Maturidi mengatakan bahwa kewajiban tersebut harus diterima dari ketentuan ajaran wahyu saja. Menurut al-Asy’ari, baik atau buruk itu tidak terdapat pada sesuatu itu sendiri. Sesuatu itu dipandang baik karena perintah syara dan dipandang buruk karena larangan syara.
b.      Perbuatan Manusia
Menurut al-Maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dan qudrat Tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia. Al-Asy’ari mengatakan bahwa daya tersebut adalah daya Tuhan karena ia memandang bahwa perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan. Berbeda pula dengan Mu’tazilah yang memandang daya sebagai daya manusia yang telah ada sebelum perbuatan itu sendiri.
Al-Maturidi membawa faham Abu Hanifah, yaitu adanya masyiah (kehendak) dan ridha (kerelaan). Kebebasan manusia dalam melakukan perbuatan baik atau buruk tetap berada dalam kehendak Tuhan, tetapi ia dapat memilih yang diridhai-Nya atau yang tidak diridhai-Nya. Manusia berbuat baik atas kehendak dan kerelaan Tuhan, dan berbuat buruk juga atas kehendak Tuhan, tetapi tidak atas kerelaan-Nya. Dengan demikian, berarti manusia dalam faham al-Maturidi tidak sebebas manusia dalam faham Mu’tazilah.
c.       Kekuatan dan kehendak mutlak Tuhan
Telah diuraikan di atas bahwa perbuatan manusia dan segala sesuatu dalam wujud ini, yang baik atau yang buruk adalah ciptaan Tuhan. Akan tetapi, pernyataan ini menurut al-Maturidi bukan berarti bahwa Tuhan berbuat dan berkehendak dengan sewenang-wenang serta sekehendak-Nya semata.
d.      Sifat Tuhan
Al-Maturidi dan al-Asy’ari berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat seperti sama, bashar, dan sebagainya. Al-Asy’ari mengartikan sifat Tuhan sebagai sesuatu yang bukan dzat, melainkan melekat pada dzat itu sendiri, sedangkan al-Maturidi berpendapat bahwa sifat itu tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula lain dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu mulzamah (ada bersama, baca: inheren) dzat tanpa terpisah (innaha lam takum ain ad-dzat wa lahiya ghairuhun).
Perbedaan faham al-Maturidi dengan faham Mu’tazilah terletak pada pengakuan al-Maturidi tentang adanya sifat-sifat Tuhan, sedangkan Mu’tazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan.
e.       Melihat Tuhan
Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Hal ini diberitakan al-Qur'an, antara lain firman Allah dalam surat al-Qiyamah ayat 22 dan 23.
Al-Maturidi telah lanjut mengatakan bahwa Tuhan kelak di akhirat dapat dilihat dengan mata, karena Tuhan mempunyai wujud walaupun ia immaterial. Namun, melihat Tuhan kelak diakhirat tidak dalam bentuknya (bila kaifa) karena keadaan di akhirat tidak sama dengan keadaan di dunia.


f.       Kalam Tuhan
Kalam nafsis adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baharu (hadis). Menurut al-Maturidi, Mu’tazilah memandang al-Qur'an sebagai yang tersusun dari huruf-huruf dan kata-kata, sedangkan al-Asy’ari memandangnya dari segi makna abstrak. Kalam Allah menurut Mu’tazilah bukan merupakan sifat-Nya dan bukan pula dari dzatnya. Al-Qur'an sebagai sabda Tuhan bukan sifat, tetapi perbuatan yang diciptakan Tuhan dan tidak bersifat kekal. Pendapat ini diterima al-Maturidi, hanya saja al-Maturidi lebih suka menggunakan istilah hadis sebagai pengganti makhluk untuk sebutan al-Qur'an. Dalam konteks ini, pendapat al-Asy’ari juga memiliki kesamaan dengan pendapat al-Maturidi, karena yang dimaksud al-Asy’ari dengan sabda adalah makna abstrak tidak lain dari kalam nafsi menurut al-Maturidi dan itu memang sifat kekal Tuhan.
g.      Perbuatan Manusia
Menurut al-Maturidi, tidak ada sesuatu yang terdapat dalam wujud ini, kecuali semuanya atas kehendak Tuhan dan tidak ada yang memaksa atau membatasi kehendak Tuhan, kecuali karena ada hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh kehendak-Nya sendiri. Setiap perbuatan Tuhan yang bersifat mencipta atau kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada manusia tidak terlepas dari hikmah dan keadilan yang dikehendakinya. Kewajiban-kewajiban tersebut antara lain:
1)      Tuhan tidak akan membebankan kewajiban-kewajiban kepada manusia di luar kemampuannya karena hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan dan manusia juga diberi kemerdekaan oleh Tuhan dalam kemampuan dan perbuatannya
2)      Hukuman atau ancaman dan janji terjadi karena merupakan tuntutan keadilan yang sudah ditetapkannya.


h.      Pengutusan Rasul
Menurut al-Maturidi, akal memerlukan bimbingan ajaran wahyu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban tersebut. Jadi pengutusan Rasul berfungsi sebagai sumber informasi, tanpa mengikuti ajaran wahyu yang disampaikan Rasul berarti manusia telah membebankan sesuatu yang berada di luar kemampuannya kepada akalnya.
Mu’tazilah berpendapat bahwa pengutusan Rasul ketengah-tengah umatnya adalah kewajiban Tuhan agar manusia dapat berbuat baik dan terbaik dalam kehidupannya.
i.        Pelaku Dosa Besar (murtakib al-Kabir)
Al-Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak kekal didalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang yang berbuat dosa syirik. Menurut al-Maturidi, iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar, sedangkan amal adalah penyempurnaan iman. Oleh karena itu, amal tidak akan menambah atau mengurangi esensi iman, kecuali hanya menambah atau mengurangi sifatnya saja.


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah swt karena atas segala rahmat dan karunianya sehingga pemakalah dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik, walaupun belum sempurna dalam pembuatan makalah namun bagi pemakalah sudah ada rasa bangga dan senang.
Shalawat beriring salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw kepada sahabat, keluarganya dan kita selaku umatnya semoga mendapatkan syafa’atnya hingga akhir zaman, dan beliau jugalah yang telah berjihad untuk menyiarkan Islam dan akhlak yang mulia serta yang telah menyelamatkan kita dari zaman jahiliyah sampai mahiriyah.
Dan pemakalah ini juga tidak akan berjalan sempurna tanpa adanya bantuan dan bimbingan baik dari segi moril dan materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pemakalah dengan sepenuh hati akan menghaturkan terima kasih kepada:
1.      Bpk Ahmad Faroji
2.      Teman-teman pemakalah yang telah ikut serta dalam pembuatan makalah ini.


Serang, 25 Oktober 2011


Pemakalah







Istri Salehah yang Senantiasa Bersyukur


Istri Salehah yang Senantiasa Bersyukur
Sejarah Nabi Ibrahim sewaktu baginda menziarahi menantunya. Pada waktu itu, puteranya, Nabi Ismail tidak di rumah sedangkan isterinya belum pernah bertemu bapak mertuanya, yaitu Nabi Ibrahim. Setelah sampai di rumah anaknya itu, terjadilah dialog antara Nabi Ibrahim dan menantunya.
Nabi Ibrahim : Siapakah kamu?
Menantu : Aku isteri Ismail.
Nabi Ibrahim : Di manakah suamimu, Ismail?
Menantu : Dia pergi berburu.
Nabi Ibrahim : Bagaimanakah keadaan hidupmu sekeluarga?
Menantu : Oh, kami semua dalam kesempitan dan (mengeluh) tidak pernah senang dan santai.
Nabi Ibrahim : Baiklah! Jika suamimu pulang, sampaikan salamku padanya. Katakan padanya, tukar tiang pintu rumahnya (sebagai kiasan supaya menceraikan istrinya).
Menantu : Ya, baiklah.
Setelah Nabi Ismail pulang dari berburu, isterinya terus menceritakan tentang orang tua yang telah singgah di rumah mereka.
Nabi Ismail : Apakah ada yang ditanya oleh orang tua itu?
Isteri : Dia bertanya tentang keadaan hidup kita.
Nabi Ismail : Apa jawabanmu?
Isteri : Aku ceritakan kita ini orang yang susah. Hidup kita ini selalu dalam kesempitan, tidak pernah senang.
Nabi Ismail : Adakah dia berpesan apa-apa?
Isteri : Ya ada. Dia berpesan supaya aku menyampaikan salam kepadamu serta meminta kamu menukar tiang pintu rumahmu.
Nabi Ismail : Sebenarnya dia itu ayahku. Dia menyuruh kita berpisah.
Sekarang kembalilah kau kepada keluargamu.
Ismail pun menceraikan isterinya yang suka menggerutu, tidak bertimbang rasa serta tidak bersyukur kepada takdir Allah S.W.T. Sanggup pula menceritakan rahasia rumah tangga kepada orang luar.
Tidak lama sesudah itu, Nabi Ismail kawin lagi. Setelah sekian lama, Nabi Ibrahim datang lagi ke Makkah dengan tujuan menziarahi anak dan menantunya. Terjadi lagi pertemuan antara mertua dan menantu yang
saling tidak mengenali.
Nabi Ibrahim : Dimana suamimu?
Menantu : Dia tidak dirumah. Dia sedang berburu.
Nabi Ibrahim : Bagaimana keadaan hidupmu sekeluarga? Mudah-mudahan dalam kesenangan?
Menantu : Syukurlah kepada Tuhan, kami semua dalam keadaan sejahtera, tiada kekurangan.
Nabi Ibrahim : Baguslah kalau begitu.
Menantu : Silakan duduk sebentar. Boleh saya hidangkan sedikit makanan.
Nabi Ibrahim : Apa pula yang ingin kamu hidangkan?
Menantu : Ada sedikit daging, tunggulah saya sediakan minuman dahulu.
Nabi Ibrahim : (Berdoa) Ya Allah! Ya Tuhanku!Berkatilah mereka dalam makan minum mereka. (Berdasarkan peristiwa ini, Rasulullah beranggapan keadaan mewah negeri Makkah adalah berkat doa Nabi Ibrahim).
Nabi Ibrahim : Baiklah, nanti apabila suamimu pulang, sampai- kan salamku kepadanya. Suruhlah dia menetapkan tiang pintu rumahnya (sebagai kiasan untuk melanggengkan isteri Nabi Ismail).
Setelah Nabi Ismail pulang dari berburu, seperti biasa dia bertanya sekiranya siapa yang datang mencarinya.
Nabi Ismail : Ada sesiapa yang datang sewaktu aku tidak di rumah?
steri : Ya, ada. Seorang tua yang baik rupanya dan perwatakannya sepertimu.
Nabi Ismail : Apa katanya?
Isteri : Dia bertanya tentang keadaan hidup kita.
Nabi Ismail : Apa jawabanmu?
Isteri : Aku nyatakan kepadanya hidup kita dalam keadaan baik, tidak kekurangan apapun, Aku ajak juga dia makan dan minum.
Nabi Ismail : Adakah dia berpesan apa-apa?
Isteri : Ada, dia berkirim salam buatmu dan menyuruh kamu melanggengkan tiang pintu rumahmu.
Nabi Ismail : Oh, begitu. Sebenarnya dialah ayahku. Tiang pintu yang dimaksudkannya itu ialah dirimu yang dimintanya untuk aku langgengkan.
Isteri : Alhamdulillah, syukur

komputer dan sistem informasi


Komputer dan Sistem Informasi, Pengenalan Perangkat Computer, Jenis-Jenis Komputer dan Sistem Input dan Output

Komputer berasal dari bahasa inggris to compute, yang berarti menghitung, karena itu ada orang yang menyebut komputer sebagai piranti menghitung, tetapi kita akan tetap menyebut komputer.
Selain menghitung, komputer juga dapat melakukan pengolahan yang sepintas lalu tampak hanya sedikit sangkut pautnya dengan menghitung. Misalnya menerjemahkan naskah, menambahkan kata atau menghilangkan kata pada naskah, mengalihkan keterangan (data), mengerjakan tata buku, mengendalikan olahan (proses), dan seterusnya.
Program sistem informasi lebih berfokus pada pengintegrasian solusi berbasis teknologi informasi dengan proses bisnis untuk memenuhi kebutuhan informasi bisnis dan usaha-usaha lain, yang memungkinkan tercapainya tujuan sebuah organisasi dengan efektif dan efisien. Perspektif bidang ilmu ini mengandung teknologi sebagai instrument untuk mencatat, menghasilkan, mengolah serta mendistribusikan informasi. Ahli-ahli di bidang ini memiliki kemampuan untuk memetakan kebutuhan informasi sebagai organisasi, dan menentukan cara teknologi informasi dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan tersebut.[1]
Selain penguasaan aspek teknologi informasi, seorang pakar sistem informasi juga harus memahami prinsip-prinsip manajemen dan bisnis. Sebagai konsekuensinya, kurikulum di bidang sistem informasi juga mencakup materi mengenai kerangka bisnis dan manajemen. Di samping penguasaan teknologi perangkat lunak dan perangkat keras computer, lulusan dari program ini memiliki keahlian yang sangat dibutuhkan industri saat ini, di mana pemanfaatan teknologi informasi sering menjadi kunci keunggulan sebuah organisasi. Perangkat komputer yang sudah dikenal oleh masyarakat umum sebagai berikut:
1.      Mainframe
2.      Personal Computer (PC)
3.      Computer For Server (server)]
4.      Personal Data Assistant (PDA)
5.      Mobile Computer (notebook, Laptop, Desk note)
Sebelum kita mengutak-atik komputer, ada baiknya kita terlebih dahulu mengetahui definisi dan cara kerja komputer. Definisi umum dari komputer adalah seperangkat alat elektronik yang dihubungkan dengan listrik yang berguna untuk membantu pekerjaan manusia agar lebih mudah, cepat dan akurat. Komputer juga sebagai alat informasi dan komunikasi yang mampu mengolah data dan kemudian menyimpannya.
Seiring dengan bertambahnya waktu dan berkembangnya teknologi semakin banyak pula jenis komputer akan bermunculan meskipun ada berbagai jenis alat yang bisa digolongkan ke dalam komputer, umumnya orang mengartikan komputer hanya sebagai personal computer (PC).[2]
Pengolahan komputer literatur terbaru tentang komputer melakukan penggolongan komputer berdasarkan tiga hal:
1.      Berdasarkan data yang diolah:
a.       Komputer Analog: komputer analog sifat penggunaannya terus menerus, datanya tidak berbentuk angka tetapi bentuk fisik dan outputnya berupa pengaturan atau pengontrolan
b.      Komputer Digital: komputer digital sifat penggunaannya terus menerus dan datanya dalam bentuk huruf dan angka.
c.       Komputer Hybrid: komputer hybrid adalah gabungan antara komputer digital dan komputer analog biasanya komputer ini hanya digunakan untuk masalah khusus Karena memiliki kemampuan yang lebih cepat dan tepat.


2.      Berdasarkan penggunaannya:
a.       Komputer untuk tujuan khusus (Special Purpose Computer)
Special purpose artinya komputer digunakan secara khusus, misalnya sebagai server dan PC router.
b.      Komputer untuk tujuan umum (General Purpose Computer)
General purpose artinya komputer digunakan secara umum, misalnya untuk pengolahan grafis dan multimedia, pengelolaan data base, serta pengelolaan program.
3.      Berdasarkan kapasitasnya dan ukurannya:
a.       Komputer Mikro (Micro Computer)
b.      Komputer Mini (Mini Computer)
c.       Komputer Kecil (Small Computer)
d.      Komputer Menengah (Medium Computer)
e.       Komputer Besar (Large Computer)
f.       Komputer Super (Super Computer)
Perangkat keras dan perangkat lunak, sebagai sub sistem komputer juga mempunyai komponen yaitu:
1.      Komponen Alat Masukan (input device)
Alat masukan (input device) adalah alat yang digunakan untuk menerima masukan yang dapat berupa masukan program, beberapa alat masukan mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai alat masukan dan sekaligus alat keluaran untuk menampilkan hasil. Alat input dan output demikian disebut terminal.
Alat masukan dapat digolongkan ke dalam beberapa golongan yaitu:
a.       Keyboard
b.      Lighten pen
c.       Track ball
d.      Mouse
e.       Scanner
f.       Barcode ward
g.      Floppy disk drive
h.      Pointing device
i.        Digital camera
j.        Optical data reader
k.      Mic
l.        CD-Rom
m.    Digitizer graphic tablet
2.      Alat pemeroses (processing device)
Terdiri dari CPU (Central Processing Unit) atau processor yang didukung oleh mother board dan dibantu oleh komponen yang ada di dalam mother board tersebut.
3.      Alat keluaran (output device)
a.       Printer
b.      Speaker
c.       Monitor
d.      Plotter
e.       CD-RW
f.       DVD-RW
g.      Floppy Disk Drive
4.      Alat simpan luar (storage)
a.       Hard disk
b.      Disket
c.       Flash memory
d.      Thumb disk.[3]



[1] A.J. Dirhsen, Mikro Komputer, Bandung: Angkasa, 1986 cet. Ke-10
[2] http://Bloggerfikrilogd.blogspot.com
[3] Ahmad Yani, Panduan Menjadi Komputer, (Jakarta: Karya Putra, 2000), cet. Ke-1

filsafat hakikat peserta didik


Bab I
Pengertian dan Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan Islam
A.    Pengertian Filsafat Pendidikan Islam
1.      Pengertian Filsafat
Filsafat adalah ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh tentang hakikat kebenaran sesuatu. Hakikat filsafat seslalu menggunakan ratio (pikiran), tetapi tidak semua proses berpikir disebut filsafat.
Filsafat merupakan ilmu yang tertua dan  menjadi induk ilmu pengetahuan yang lain.
Ungkapan yang paling sederhana terhadap kata filsafat seperti yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Hasan Langgulung adalah cinta hikma (kebijaksanaan). Dan orang yang cinta hikmah kebijaksanaan selalu mencari dan meluangkan waktu untuk mencapainya, mempunyai sikap positif terhadapnya dan terhadap hakekat sesuatu, berusaha menghubungkan sebab-sebab dengan akibatnya, dan juga berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman kemanusiaan. Jadi, bukan saja orang paling banyak dan tinggi pengetahuannya, tetapi juga memilki kemantapan pandangan dan tinjauan yang jauh kedepan, dimana pengetahuan itu sendiri tidak sanggup untuk mencapainya.
2.      Pengertian Pendidikan Islam
Menurut Abdur Rahman Nahlawi; “Pendidikan Islam adalah pengaturan pribadi dan masyarakat sehingga dapat memeluk agama islam secara logis dan sesuai secara keseluruhan baik dalam kehidupan individu maupun kolektif.”
Menurut Drs. Burlian Shomad; “Pendidikan islam ialah pendidikan yang bertujuan membentuk individu menjadi mahluk yang bercorak diri berderajat tinggi menurut ukuran Allah dan sisi pendidikannya untuk mewujudkan tujuan itu adalah ajaran Allah. Secara rinci beliau mengemukakan pendidikan itu baru disebut pendidikan Islam apabila memiliki dua ciri khas yaitu :
1.      Tujuan untuk membentuk individu yang bercorak diri tinggi menurut ukuran Al-Quran.
2.      Isi pendidikannya adalah ajaran Allah yang tercantum dengan lengkap di dalam Al-Quran, dan pelaksanaannya didalam aspek kehidupan sehari-hari sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW.

Hasil seminar Pendidikan Islam se-Indonesia tanggal 7 sampai dengan 11 Mei 1960 di Cipayung Bogor mengatakan “Pendidikan islam adalah bimbingan terhadap pertumbuhan jasmani dan rohani menurut ajaran islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh dan mengawasi berlakunya semuanya ajaran Islam.

Pendidikan islam berarti proses bimbingan dari pendidik terhadap perkembangan jasmani, rohani dan akal serta didik kearah terbentuk pribadi muslim telah berkembang diberbagai daerah dari sistemnya yang paling sederhana menuju sistem pendidikan islam yang modern. Pendidikan islam dalam sejarahnya menujukkan perkembangan dalam subsistem yang bersifat operasional dan teknis terutama tentang metode, alat-alat dan bentuk kelembagaan. Adapun hal yang bersifat prinsip dasar dan tujuan pendidikan islam tetap dipertahankan sesuai dengan prinsip ajaran islam yang tertuang dalam Al-Quran dan Sunah.

Peran pendidik dalam membina umat sangat besar dalam usaha menciptakan kekuatan-kekuatan yang mendorong kearah tercapainya tujuan yang dikendaki. Sebagaimana dimaklumi bahwa islam bukanlah hanya sekedar sesuatu kepercayan agama yang membawa serta membina masyarakat yang merdeka, yang memilki sistem pemerintahan, hukum dan lembaga-lembaga. Semua ini dasar-dasarnya telah dipancangkan sejak semula oleh Rasulullah SAW. Yang diikuti terus menerus secara berkesinambungan oleh generasi-generasi berikutnya

3.      Pengertian Filsafat Pendidikan Islam
Sebagaimana diketahui bahwa manusia adalah sebagai khalifah Allah di alam. Sebagai khalifah, manusia mendapat kuasa dan wewenang untuk melaksanakannya. Dengan demikian, pendidikan merupakan urusan hidup dan kehidupan manusia, dan merupakan tanggung  jawab manusia sendiri.
Disamping itu filsafat pendidikan islam, juga merupakan study tentang penggunaan dan penerangan metode dan sistem filsafat dan aliran filsafat dalam islam tentang masalah-masalah kependidikan dan bagaimana pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan manusia muslim dan umat islam.

4.      Dasar dan Tujuan Filsafat Pendidikan Islam
Dalam perjalanan hidupnya, umat manusia senantiasa dihadapkan kepada pengalaman-pengalaman peristiwa alamiyah yang ada disekitarnya. Pengalaman-pengalaman lahir ini merupakan sejarah hidupnya yang mengesankan dan kemudian menghidupkan serta menjadi pengalam batinnya sebagai alat pendorong untuk mengadakan perubahan-perubahan bagi kepentingan hidup dan kehidupannya.

B.     Ruang Lingkup Pendidikan Islam
Di dalam buku Modern Philosophies of Education (Fourth Education), John S. Brubacher mengemukakan bahwa :
“Pendidikan sebagai proses timbal balik dari tiap pribadi manusia dalam penyusuaian dirinya dengan alam, dengan sesama, dan dengan alam semesta. Pendidikan juga merupakan perkembangan yang terorganisasi dan kelengkapan dari semua potensi-potensi manusia, moral, intelektual dan jasmani (fisik), oleh dan untuk kepribadian individunya dan kegunaan masyarakatnya yang diharapkan demi menghimpun semua aktivitas tersebut bagi tujuan hidupnya (tujuan akhir). Pendidikan adalah proses, dimana potensi-potensi (kemampuan kapasitas) manusia yang mudah dipengaruhi oleh kebiasaan-kebiasaan supaya disempurnakan oleh kebiasaan-kebiasaan yang baik, oleh alat/ media yang disusun sedemikian rupa dan dikelola oleh manusia untuk menolong orang lain atau dirinya sendiri dalam mencapai tujuan yang ditetapkan.

Untuk itu, kualifikasi islam untuk pendidikan memberikan kejelasan bentuk konseptualnya. Pembentukan kepribadian yang dimaksudkan bentuk konseptualnya. Pembentuak kepribadian yang dimaksudkan sebagai hasil pendidikan adalah kepribadian muslim, kemajuan masyarakat, dan budaya yang tidak menyimpang dari ajaran islam.

Agama tidak mempunyai arti sama sekali apabila tidak mewujudkan dan diamalkan dalam kehidupan. Ia hanya akan merupakan tonggak sejarah, sebagai kisah dan slogan yang enak didengar atau diingat, tetapi tidak mempunyai arti sama sekali dalam kehidupan. Agam bukan untuk dimitoskan atau dipandang sebagai sesuatu yang akan dilahirkan kesaktian dalam bentuk azimat dan mantera, tetapi harus membudaya dalam segenap aspek kehidupan masyarakat. Untuk membudayakan dan melembagakan agama dalam kehidupan perlu diusahakan pembinaan secara terus menerus kepada seluruh lapisan masyarakat tanpa kecuali.








Bab II
Kedudukan Manusia Dalam Alam Semesta
A.    Hubungan Manusia dan Alam
Diatas permukaan dan diperut bumi ini terdapat jutaan macam benda, ada benda mati dan ada benda hidup. Benda mati itu pun hampir tak terhitung macamnya, yaitu berupa gas, benda cair, dan benda padat.
Disamping benda mati, ada pula benda hidup (mahluk hidup) disebut hidup karena keberadaannya melalui proses tertentu, yaitu; lahir, tumbuh, berkembang, membiak tua dan mati. Pada garis besarnya mahluk hidup terdiri dari 3 (tiga) kelompok termasuk manusia.
Bentuk dan sifat ciptaan Allah yang disebut manusia itu kemudian secara panjang lebar oleh para ahli psikologis (ahli ilmu jiwa) antara manusia dengan binatang menyusui. Pandangan mereka bertitik tolak dari unsure jiwa yang terdapat pada diri manusia dan tidak terdapat pada hewan menyusui.
Kalau pada hewan menyusui pokok utamanya terletak pada unsur kongkret, unsur raga, unsur fisik, unsur jasmani dan biologisnya semata-mata, maka pada diri manusia selain terdapat unsur kongkret, unsur raga, unsur jasmaniah terdapat pada unsur abstrak, yaitu unsur jiwa dan rohaniah. Disebut abstrak jiwa manusia karena jiwa itu tidak tampak bentuk dan ukurannya, tidak dapat dipegang dan tidak dapat diraba, tetapi nyata-nyatanya ada. Keberdaannya dapat dibuktikan.

B.     Pandangan Islam Tentang Alam dan Kedudukan Manusia
1.      Pandangan Islam Tentang Alam
Berpegang pada dalil-dalil al-quran, maka ala mini diciptakan oleh Tuhan untuk kepentingan manusia dan untuk dipelajari manusia sehingga dapat menjalankan fungsi dan kedudukannya sebagai manusia dimuka bumi ini.
Firman Allah SWT:

Artinya :
“Dia menjadikan bumi bagimu dengan mudah kamu jalani, sebab itu berjalanlah kamu pada beberapa penjurunya dan makalah rejeki Allah kepada-Nya tempat kembali (Q.S. Al-Mulk:15)

Firman Allah SWT:
“Tidaklah kamu lihat, bahwa Allah telah memudahkan untukmu apa-apa yang dilangit dan di bumi dan telah ia telah sempurnakan atas kamu nikmat-nikmat-Nya, baik yang laihr maupun batin.”
(Q.S. Luqman:20)

Dari ayat-ayat diatas. Jelas bahwa Allah menciptakan manusia untuk hidup dimuka bumi ini dengan disertai bekal yang cukup demi kelangsungan hidupnya, yaitu segala sesuatu di ala mini diciptakan untuk kepentingan manusia.

2.      Kedudukan Manusia
a.       Sebagai pemanfaat dan penjaga kelestarian alam.
b.      Sebagai penelti alam
c.       Sebagai khalifah (penguasa) dibuka bumi
d.      Sebagai mahluk yang paling tinggi dan paling mulia
e.       Sebagai hamba Allah
f.       Sebagai mahluk yang bertanggung jawab



Bab III
Hakikat Tujuan Pendidikan Islam
A.    Tujuan Pendidikan
Pendidikan adalah bagian dari satu proses yang diharapkan untuk mencapai siatu tujuan.
Tujuan pendidikan di Indonesia:
Adapun tujuan pendidikan di Indonesia sebgaimana terdapat dalam undang-undang RI Nomor 2 Tahun 1989 tentang system pendidikan nasional bab II pasal 4, menyebutkan: “Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan bangsa dan mengembangkan manusia di Indonesia secara seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang maha esa dan berbudi pekerti yang luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa yang tanggung jawab kemasrakatan dan kebangsaan.”

Fungsi Tujuan Pendidikan
Pengertian tujuan pendidikan sebenarnya terlingkup dalam pengertian pendidikan sebagai usaha secara sadar. Ada usaha yang terhenti karena mengalami kegagalan sebelum mencapai tujuan, namun usaha ini belum dapat disebut berakhir. Pada umumnya suatu usaha baru berakhir kalau tujuan akhir telah tercapai.
Dari pengertian uraian diatas maka makin jelaslah pula fungsi tujuan pendidikan yang kita maksudkan yaitu :
1.      Mengakhiri tujuan
2.      Mengarahkan tujuan
3.      Suatu tujuan dapat pula merupakan titik pangkal untuk mencapai tujuan-tujuan lain, baik merupakan tujuan baru maupun tujuan-tujuan lanjut dari tujuan pertama.
4.      Memberi nilai (sifat) pada usaha-usaha itu.

Dari uraian Brubacher tersebut dapat dipahami bahwa tujuan pendidikan mencangkup tiga fungsi penting, yang bersifat normative, yaitu :
1.      Tujuan pendidikan memberikan arah pada proses yang bersifat edukatif.
2.      Tujuan pendidikan tidak selalu memberikan arah pada pendidikan pada pendidikan.
3.      Tujuan pendidikan manusia mempunyai fungsi untuk memberikan pedoman atau menyediakan kreteria-kreteria dalam menilai proses pendidikan.

B.     Tujuan Pendidikan Menurut Islam
1.      Tujuan Umum
Ialah tujuan yang akan dicapai dengan semua kegitan pendidikan, baik degan pengajaran atau dengan cara yang lainnya.
Tujuan umum pendidikan Islam harus dikaitkan pula dengan tujuan pendidikan nasional Negara tempat pendidikan Islam itu dilaksanakan serta harus dikaitkan pula dengan tujuan institusional lembaga menyelenggarakan pendidikan itu. Tujuan umum ini hanya dapat dicapai setelah melalui proses pengajaran, pengalaman, pembiasaan, penghayatan dan kenyakinan kebenarannya. Tahapan dalam mencapai itu pada pendidikan formal (sekolah/madrasah). Dirumuskan dalam bentuk tujuan kurikuler yang selanjutnya dikembangkan dalam tujuan intruksional.

2.      Tujuan Akhir
Tujuan akhir pendidikan Islam itu dapat dipahami dari firman Allah SWT:
Artinya :
“Wahai orang-orangorang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa, dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim berserah diri kepada Allah.”
(Q.S. Ali Imran: 102)

3.      Tujuan Sementara
Tujuan sementara ialah tujuan yang akan dicapai setelah anak diberi sejumlah pengalaman tertentu yang direncanakan dalam suatu kurikulum pendidikan formal. Tujuan operasional dalam bentuk tujuan intruksional yang dikembangkan menjadi tujuan intruksional umum dan tujuan intruksional khusus (TIU dan TIK) dapat dianggap tujuan sementara dengan sifat yang akan sedikit berbeda.

4.      Tujuan Operasional
Tujuan operasional adalah tujuan praktis yang dicapai melalui sejumlah kegiatan pendidikan tertentu. Satu unit kegiatan pendidikan dengan bahan-bahan yang sudah dipersiapkan dan diperkirakan akan mencapai tujuan tertentu disebut tujuan operasional. Dalam pendidikan formal, tujuan operasional ini disebut juga tujuan intruksional yang selanjutnya dikembangkan menjadi tujuan intruksional umum dan tujuan intruksional khusus (TIU dan TIK). Tujuan intruksional ini merupakan tujuan pengajaran yang direncanakan dalam unit kegiatan pengajaran.

C.    Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan adalah sasaran yang akan dicapai oleh seseorang atau sekolompok orang yang akan melakukan suatu kegiatan. Karena itu tujuan pendidikan Islam, yaitu sasaran yang akan dicapai oleh seseorang atau kelompok yang melaksanakan pendidikan Islam.
1.      Mengakhiri usaha
2.      Mengarahkan usaha
3.      Tujuan merupakan titik pangkal untuk mencapai tujuan-tujuan lanjutan dan tujuan pertama
4.      Memberi nilai (sifat) pada usaha-usaha itu.

Tujuan pendidikan Islam secara filosofis yang ideal seharusnya menepatkan rumusan konseptional yang bersifat komprehensif dan logis dalam bentuk yang padat dan meliputi seluruh kehidupan manusia yang dicita-citakan Islam.



Bab IV
Hakikat Pendidikan
A.    Pengertian Pendidik
Pendidik adalah orang dewasa yang bertanggung jawab memberikan bimbingan atau bantuan kepada anak didik dalam pengembangan jasmani dan rohaninya agar mencapai kedewasaannya, mampu melaksanakan tugas sebagai mahluk Allah, khalifah dipermukaan bumi. Sebagai mahluk social dan sebagai individu yang sanggup berdiri sendiri.
Orang yang pertama bertanggung jawab terhadap perkembangan anak atau pendidikan adalah orang tuanya, karena adanya peralihan darah secara langsung bertanggung jawab atas masa depan anak-anaknya.

B.     Tugas Pendidik
Sebagaimana telah disinggung di atas, mengenai pengetian pendidik, didalamnya telah tersirat pula mengenai tugas-tugas pendidik, maka disini telah lebih diperjelas lagi, yaitu :
a.       Membimbing si terdidik
Mencari pengenalan terhadap mengenai kebutuhan, kesungguhan, bakat, minat dan sebagainya.
b.      Menciptakan situasi untuk pendidikan
Situasi pendidikan, yaitu suatu keadaan dimana tindakan-tindakan pendidikan dapat berlangsung dengan baik dan hasil yang memuaskan.

C.    Keutamaan Mengajar
Pendidikan Islam adalah adalah individu yang melaksanakan tindakan mendidik secara islami dalam suatu situasi pendidikan agama Islam untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
Al-Ghazali seorang ahli pendidik Islam juga memandang bahwa pendidik mempunyai kedudukan utama dan sangat penting.

D.    Jenis-jenis Pendidik
Menurut Prof. Dr. Moh. Athiyah Al-Abrasyi pendidik itu ada tiga macam yaitu :
a.       Pendidik kuttab ialah pendidik yang mengajarkan al-quran kepada anak-anak kuttab.
b.      Pendidik umum ialah pendidik yang pada umumnya, ia mengajar dilembaga-lembaga pendidikan dan mengola atau melaksanakan pendidikan Islam secara formal.
c.       Pendidik khusus atau sering disebut muadib yaitu pendidik yang memberikan pelajaran khusus kepada seseorang atau khalifah.

E.     Syarat-syarat Pendidik
Menurut H. Mubangit Syarat-syarat menjadi pendidik/guru :
a.       Dia harus beragama.
b.      Mampu bertanggung jawab atas kesejahteraan agama
c.       Dia tidak kalah dengan guru-guru sekolah umum lainya dalam membentuk warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab atas kesejahteraan bangsa dan tanah air.
d.      Dia harus memiliki perasaan panggilan murni (roeping)

Dapat disimpulkan bahwa guru agama itu lebih berat dibandingkan dengan tugas-tugas guru pada umumnya. Disamping itu, tugas sebagai guru agama terkandung tugas suci untuk memenuhi panggilan agama, karena berkaitan ibadah kepada Tuhan. Sehubungan dengan itu maka para ahli didik Islam menentukan berbagai syarat dengan maksud agar tugas itu dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.






F.     Sifat-sifat Pendidik
Iman Al-Ghazali menasehati kepada pendidik agama Islam agar memilki sifat-sifat sebagai berikut :
a.       Seorang guru harus menaruh rasa kasih sayang terhadap murid-muridnya dan memperlakukan mereka seperti perlakuan mereka terhadap anak sendiri.
b.      Tidak mengharapkan balas jasa ataupun ucapkan terima kasih, tetapi dengan mengajar itu ia bermaksud mencari keridaan Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya.
c.       Hendaklah guru menasehatkan kepada muridnya supaya tidak sibuk dengan ilmu yang abstrak dan yang gaib-gaib sebelum selesai pelajaran atau pengertiannya dalam ilmu yang jelas, konkret dan ilmu-ilmu yang pokok. Terangkan bahwa niat belajar itu supaya mendekatkan diri kepada Allah, bukan akan bermegah-megahan dengan ilmu pengetahuan itu.
d.      Mencegah murid dari suatu ahlak yang tidak baik dengan jalan sendiri jika mungkin dan jangan terus terang dengan jalan halus dan jangan mencela.
e.       Memperhatikan tingkat akal pikiran anak-anak dan berbicara dengan mereka menurut kadar akalnya dan jangan menyampaikan sesuatu yang melebihi tingkat daya tangkap para siswanya agar ia tidak lari dari pelajaran, atau berbicaralah dengan bahasa mereka.
f.       Jangan menimbulkan rasa benci pada murid mengenai cabang ilmu yang lain, tetapi seyogyianya membukakan jalan bagi mereka untuk mempelajari ilmu tersebut.
g.      Seyogiaya kepada murid yang masih dibawah umur, memberikan penjelasan yang jelas dan pantas, dan tidak perlu menyebutkan rahasia-rahasia yang terkandung dibelakang sesuatu itu, sehingga tidak menjadi berkurang keutamaannya atau gelisah pemikirannya.
h.      Seorang guru harus mengamalkan ilmunya dan jangan berlainan kata dengan perbutannya.

G.    Pendidik dalam Perspektif Pendidikan Islam
Dalam pendidikan Islam, pendidik memiliki arti dan peranan sangat penting. Hal ini disebabkan karena memilki tanggung jawab dan menentukan arah pendidikan. Itulah sebabnya Islam sangat menghargai dan menghormati orang-orang yang berilmu pengetahuan dan bertugas sebagai pendidik.
Agar pendidik berhasil melaksanakan tugasnya, Al-Ghazali menyarankan pendidik memiliki adab yang baik. Hal ini disebabkan anak didik itu akan selalu melihat kepadanya sebagai contoh yang harus diikuti. Al-Ghazali berkata :
“Mata anak didik selalu bertuju kepadanya, telinga selalu menggap baik pula disisi mereka dan apabila ia menggap jelek pula disisi mereka.”



Bab V
Hakikat Peserta Didik
A.    Dasar-dasar Kebutuhan Anak untuk Memperoleh Pendidikan
B.     Pertumbuhan Anak (Manusia)
C.    Batas-batas Pendidikan Agama Islam
Bab IV : Hakikat Kurikulum
A.    Pengertian Kurikulum
B.     Prinsip-prinsip Kurikulum
C.     Ciri-ciri Kusus Kurikulum
D.    Kurikulum Pendidikan Islam di Indonesia
Bab VII : Hakikat Metode Pendidikan
A.    Metode dalam Proses Pendidikan Islam
B.     Pendekatan dan Metode Pendidikan Islam
C.     Metode Filsafat Pendidikan Agama Islam
Bab VIII : Hakikat Evaluasi Pendidikan
A.    Pengertian Pengukuran, Pemikiran dan Evaluasi
B.     Penilaian Pendidikan
C.     Manfaat Evaluasi
D.    Tujuan Evaluasi
E.     Ciri-ciri Penilaian dalam Pendidikan
F.      Evaluasi dalam Pendidikan
Bab IX : Pendidikan Islam dalam Pemikiran Para Ahli
A.    Al-Ghazali
B.     Zainuddin Labay dan Rahmah Al-Yunus-siyah
C.     K.H. Ahmad Dahlan
Daftar Pustaka