Sabtu, 17 Maret 2012

KHALAF: AHLUSUNNAH (AL-ASYARY DAN AL-MATURID


“KHALAF: AHLUSUNNAH (AL-ASYARY DAN AL-MATURIDI)”

Kata khalaf biasanya digunakan untuk merujuk para ulama yang lahir setelah abad III H dengan karakteristik yang bertolak belakang dengan apa yang dimiliki salaf. Diantaranya tentang penakwilan terhadap sifat-sifat Tuhan yang serupa dengan makhluk pada pengertian yang sesuai dengan ketinggian dan kesuciannya.
Adapun ungkapan ahlusunnah (sering juga disebut dengan sunni) dapat dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu umum dan khusus. Sunni dalam pengertian umum adalah lawan kelompok syi’ah. Dalam pengertian ini, Mu’tazilah sebagaimana juga Asy’ariyah masuk dalam barisan sunnni. Sunni dalam pengertian khusus adalah mazhab yang berada dalam barisan Asy’ariyah dan merupakan lawan Mu’tazilah.
Term ahlusunnah banyak dipakai setelah munculnya aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah, dua aliran yang menentang ajaran-ajaran Mu’tazilah. Harun Nasution dengan meminjam keterangan Tasy Kubra Zadah menjelaskan bahwa aliran ahlusunnah muncul atas keberanian dan usaha Abu Al-Hasan al-Asy’ari sekitar tahun 300H.
A.    Al-Asy’ari
1.      Riwayat Singkat Al-Asy’ari
Nama lengkap al-Asy’ari adalah Abu Al-Hasan Ali bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Bundah bin Abi Musa al-Asya’ari. Menurut beberapa riwayat al-Asy’ari lahir di Bashrah pada tahun 260H/815 M ketika berusia lebih dari 40 tahun. Ia hijrah ke kota Baghdad dan wafat disana pada tahun 324 H/935 M.
Menurut Ibn Asakir, ayah al-Asy’ari adalah seseorang yang berfaham ahlusunnah dan ahli hadits. Ia wafat ketika al-Asy’ari masih kecil sebelum wafat, ia berwasiat kepada seorang sahabatnya yang bernama Zakaria bin Yahya As-Saji agar mendidik al-Asy’ari. Ibnu Al-Asy’ari speninggal ayahnya, menikah lagi dengan seorang tokoh Mu’tazilah yang bernama Abu Ali al-Jubabi (w. 303H/915 M). ayah kandung Abu Hasyim al-Jubbai (w. 321 H/934 M). berkat didikan ayah tirinya itu, al-Asy’ari itu kemudian menjadi tokoh Mut’azilah. Ia sering menggantikan al-Jubbai dalam perdebatan tentang lawan-lawan Mu’tazilah. Selain itu banyak menulis buku yang membela alirannya.
Al-Asy’ari menganut paham Mu’tazilah hanya sampai ia berusia 40 tahun. Selain itu, secara tiba-tiba ia mengumumkan dihadapan jamaah mesjid Bshrah bahwa dirinya telah meninggalkan faham Mu’tazilah dan menunjukkan keburukan-keburukannya. Menurut Ibnu Asakir yang melatarbelakangi al-Asy’ari meninggalkan faham Mu’tazilah adalah pengakuan al-Asy’ari telah bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW sebanyak tiga kali, yaitu pada malam ke-10, ke-20, dank e-30 bulan ramadhan. Dalam tiga mimpinya itu, Rasulullah memperingatkan agar meninggalkan faham Mu’tazilah dan membela faham yang telah diriwayatkan dari beliau.
2.      Doktrin-Doktrin Teologi Al-Asy’ari
Al-Asy’ari secara esensial menampilkan sebuah upaya sintesis antara formulasi ortodoks ekstrim di satu sisi dan Mu’tazilah di sisi lain. Dari segi etosnya, pergerakan tersebut memiliki ortodoks. Menurut watt, barangkali dipengaruhi teologi kullabilah (teologi sunni yang dipelopori Ibn Kullah, w. 854 M). pemikiran-pemikiran al-Asy’ari yang terpenting adalah berikut ini:
a.       Tuhan dan Sifat-Sifatnya
Perbedaan pendapat di kalangan mutakalimin mengenai sifat-sifat Allah tak dapat dihindarkan walaupun mereka setuju bahwa mengesakan Allah adalah wajib. Al-Asy’ari berhadapan dengan kelompok Mujassimah (antropomorfis) dan kelompok Musyabbihah yang berpendapat bahwa Allah mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam al-Qur'an dan sunnah dan sifat-sifat itu harus dipahami menurut arti harfiahnya. Di lain pihak, ia berhadapan dengan kelompok Mu’tazilah yang berpendapat bahwa sifat-sifat Allah tidak lain selain esensi-Nya.
b.      Kebebasan dalam Berkehendak (free-will)
Walaupun yang fatalistic dan menganut faham pradeterminisme semata-mata dan Mu’tazilah yang menganut faham kebebasan mutlak dan berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri, al-Asy’ari membedakan antara khaliq dan kasb. Menurutnya, Allah adalah pencipta (khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang mengupayakannya (muktasib). Hanya Allah-lah yang mampu menciptakan segala sesuatu (termasuk keinginan manusia).
c.       Akal dan Wahyu dan Kriteria Baik dan Buruk
Walaupun al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu, mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu sementara Mu’tazilah mengutamakan akal.
d.      Qadimnya al-Qur'an
Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim dalam persoalan qadimnya al-Qur'an. Mu’tazilah yang mengatakan bahwa al-Qur'an diciptakan (makhluk) sehingga tidak qadim serta pandangan mazhab Hambali dan Zahiriyah yang menyatakan bahwa al-Qur'an adalah kalam Allah (yang qadim dan tak diciptakan). Zahiriyah bahkan berpendapat bahwa semua huruf, kata dan bunyi al-Qur'an adalah qadim. Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan yang saling bertentangan itu. Al-Asy’ari mengatakan bahwa walaupun al-Qur'an terdiri atas kata-kata, huruf, dan bunyi semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak qadim.
Nasution mengatakan bahwa al-Qur'an bagi al-Asy’ari tidaklah diciptakan sebab kalau ia diciptakan sesuai dengan ayat QS. An-Nahl: 40.
$yJ¯RÎ) $uZä9öqs% >äóÓy´Ï9 !#sŒÎ) çm»tR÷Šur& br& tAqà)¯R ¼çms9 `ä. ãbqä3uŠsù ÇÍÉÈ 
Artinya: "Sesungguhnya perkataan kami terhadap sesuatu apabila kami menghendakinya, kami Hanya mengatakan kepadanya: "kun (jadilah)", Maka jadilah ia." (QS. An-Nahl: 40)
e.       Melihat Allah
Al-Asy’ari tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrim terutama zahiriyah, yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat dan mempercayai bahwa Allah bersemayam di Arsy. Selain itu, ia tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang mengingkari ru’yatullah (melihat Allah) di akhirat. Al-Asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak dapat digambarkan kemungkinan ru’yat dapat terjadi manakala Allah sendiri yang menyebabkan dapat dilihat atau bilamana ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.
f.       Keadilan
Pada dasarnya al-Asy’ari dan Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil. Mereka hanya berbeda dalam memandang makna keadilan, al-Asy’ari tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga dia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah penguasa mutlak. Dengan demikian, jelaslah bahwa Mu’tazilah mengartikan keadilan dari visi manusia yang memiliki dirinya, sedangkan al-Asy’ari dari visi bahwa Allah adalah pemilik mutlak.
g.      Kedudukan Orang Berdosa
Al-Asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang dianut Mu’tazilah mengingat kenyataan bahwa iman merupakan lawan kufur. Predikat bagi seseorang haruslah salah satu diantaranya jika tidak mukmin, ia kafir. Oleh karena itu, al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufur.
B.     Al-Maturidi
1.      Riwayat Singkat al-Maturidi
Abu Manshur al-Maturidi dilahirkan di Maturid, sebuah kota kecil di daerah Samarkand, wilayah Trmsoxiana di Asia Tengah, daerah yang sekarang disebut Uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 hijriyah. Ia wafat pada tahun 333 H/944 M). gurunya dalam bidang fiqih dan teologi bernama nasyr bin Yahya al-Balakhi. Ia wafat pada tahun 268 H, al-Maturidi hidup pada masa khalifah al-Mutawakil yang memerintah tahun 232-274 H/847-861 M.
Karir pendidikan al-Maturidi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi fiqih. Ini dilakukan untuk memperkuat pengetahuan dalam menghadapi faham-faham teologi yang banyak berkembang pada masyarakat Islam, yang dipandangnya tidak sesuai dengan kaidah yang benar menurut akal dan syara. Pemikiran-pemikirannya banyak dituangkan dalam bentuk karya tulis, diantaranya ialah kitab tauhid, ta’qil al-Qur'an, makhaz asy-Asy’ari, al-Jadl, ushul fiqih ad-Din, maqalat fi al-Ahkam radd awa’il al-Abdillah li al-Ka’bi, radd al-ushul al-khamisah li Abu Muhammad al-Bahili, radd al-Imamah li al-Ba’ad ar-Rawafid, dan kitab radd ‘ala al-Qaramatah. Selain itu, ada pula karangan-karangan yang diduga ditulis oleh al-Maturidi yaitu risalah fi al-‘Aqaid dan Syarh fiqh al-Akbar.
2.      Doktrin-Doktrin Teologi al-Maturidi
a.       Akal dan Wahyu
Dalam masalah baik dan buruk, al-Maturidi berpendapat bahwa penentu baik dan buruknya sesuatu itu terletak pada sesuatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan syari’ah hanyalah mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Ia mengakui bahwa akal tidak selalu mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk, namun terkadang pula mampu mengetahui sebagian baik dan buruknya sesuatu. Dalam kondisi demikian, wahyu diperlukan untuk dijadikan sebagai pembimbing.
Al-Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada 3 macam yaitu;
1)      Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu
2)      Akal dengan sendirinya hanya mengetahui keburukan sesuatu itu
3)      Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu.
Mu’tazilah mengatakan bahwa perintah melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk itu didasarkan pada pengetahuan akal. Al-Maturidi mengatakan bahwa kewajiban tersebut harus diterima dari ketentuan ajaran wahyu saja. Menurut al-Asy’ari, baik atau buruk itu tidak terdapat pada sesuatu itu sendiri. Sesuatu itu dipandang baik karena perintah syara dan dipandang buruk karena larangan syara.
b.      Perbuatan Manusia
Menurut al-Maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dan qudrat Tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia. Al-Asy’ari mengatakan bahwa daya tersebut adalah daya Tuhan karena ia memandang bahwa perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan. Berbeda pula dengan Mu’tazilah yang memandang daya sebagai daya manusia yang telah ada sebelum perbuatan itu sendiri.
Al-Maturidi membawa faham Abu Hanifah, yaitu adanya masyiah (kehendak) dan ridha (kerelaan). Kebebasan manusia dalam melakukan perbuatan baik atau buruk tetap berada dalam kehendak Tuhan, tetapi ia dapat memilih yang diridhai-Nya atau yang tidak diridhai-Nya. Manusia berbuat baik atas kehendak dan kerelaan Tuhan, dan berbuat buruk juga atas kehendak Tuhan, tetapi tidak atas kerelaan-Nya. Dengan demikian, berarti manusia dalam faham al-Maturidi tidak sebebas manusia dalam faham Mu’tazilah.
c.       Kekuatan dan kehendak mutlak Tuhan
Telah diuraikan di atas bahwa perbuatan manusia dan segala sesuatu dalam wujud ini, yang baik atau yang buruk adalah ciptaan Tuhan. Akan tetapi, pernyataan ini menurut al-Maturidi bukan berarti bahwa Tuhan berbuat dan berkehendak dengan sewenang-wenang serta sekehendak-Nya semata.
d.      Sifat Tuhan
Al-Maturidi dan al-Asy’ari berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat seperti sama, bashar, dan sebagainya. Al-Asy’ari mengartikan sifat Tuhan sebagai sesuatu yang bukan dzat, melainkan melekat pada dzat itu sendiri, sedangkan al-Maturidi berpendapat bahwa sifat itu tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula lain dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu mulzamah (ada bersama, baca: inheren) dzat tanpa terpisah (innaha lam takum ain ad-dzat wa lahiya ghairuhun).
Perbedaan faham al-Maturidi dengan faham Mu’tazilah terletak pada pengakuan al-Maturidi tentang adanya sifat-sifat Tuhan, sedangkan Mu’tazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan.
e.       Melihat Tuhan
Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Hal ini diberitakan al-Qur'an, antara lain firman Allah dalam surat al-Qiyamah ayat 22 dan 23.
Al-Maturidi telah lanjut mengatakan bahwa Tuhan kelak di akhirat dapat dilihat dengan mata, karena Tuhan mempunyai wujud walaupun ia immaterial. Namun, melihat Tuhan kelak diakhirat tidak dalam bentuknya (bila kaifa) karena keadaan di akhirat tidak sama dengan keadaan di dunia.


f.       Kalam Tuhan
Kalam nafsis adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baharu (hadis). Menurut al-Maturidi, Mu’tazilah memandang al-Qur'an sebagai yang tersusun dari huruf-huruf dan kata-kata, sedangkan al-Asy’ari memandangnya dari segi makna abstrak. Kalam Allah menurut Mu’tazilah bukan merupakan sifat-Nya dan bukan pula dari dzatnya. Al-Qur'an sebagai sabda Tuhan bukan sifat, tetapi perbuatan yang diciptakan Tuhan dan tidak bersifat kekal. Pendapat ini diterima al-Maturidi, hanya saja al-Maturidi lebih suka menggunakan istilah hadis sebagai pengganti makhluk untuk sebutan al-Qur'an. Dalam konteks ini, pendapat al-Asy’ari juga memiliki kesamaan dengan pendapat al-Maturidi, karena yang dimaksud al-Asy’ari dengan sabda adalah makna abstrak tidak lain dari kalam nafsi menurut al-Maturidi dan itu memang sifat kekal Tuhan.
g.      Perbuatan Manusia
Menurut al-Maturidi, tidak ada sesuatu yang terdapat dalam wujud ini, kecuali semuanya atas kehendak Tuhan dan tidak ada yang memaksa atau membatasi kehendak Tuhan, kecuali karena ada hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh kehendak-Nya sendiri. Setiap perbuatan Tuhan yang bersifat mencipta atau kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada manusia tidak terlepas dari hikmah dan keadilan yang dikehendakinya. Kewajiban-kewajiban tersebut antara lain:
1)      Tuhan tidak akan membebankan kewajiban-kewajiban kepada manusia di luar kemampuannya karena hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan dan manusia juga diberi kemerdekaan oleh Tuhan dalam kemampuan dan perbuatannya
2)      Hukuman atau ancaman dan janji terjadi karena merupakan tuntutan keadilan yang sudah ditetapkannya.


h.      Pengutusan Rasul
Menurut al-Maturidi, akal memerlukan bimbingan ajaran wahyu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban tersebut. Jadi pengutusan Rasul berfungsi sebagai sumber informasi, tanpa mengikuti ajaran wahyu yang disampaikan Rasul berarti manusia telah membebankan sesuatu yang berada di luar kemampuannya kepada akalnya.
Mu’tazilah berpendapat bahwa pengutusan Rasul ketengah-tengah umatnya adalah kewajiban Tuhan agar manusia dapat berbuat baik dan terbaik dalam kehidupannya.
i.        Pelaku Dosa Besar (murtakib al-Kabir)
Al-Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak kekal didalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang yang berbuat dosa syirik. Menurut al-Maturidi, iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar, sedangkan amal adalah penyempurnaan iman. Oleh karena itu, amal tidak akan menambah atau mengurangi esensi iman, kecuali hanya menambah atau mengurangi sifatnya saja.


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah swt karena atas segala rahmat dan karunianya sehingga pemakalah dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik, walaupun belum sempurna dalam pembuatan makalah namun bagi pemakalah sudah ada rasa bangga dan senang.
Shalawat beriring salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw kepada sahabat, keluarganya dan kita selaku umatnya semoga mendapatkan syafa’atnya hingga akhir zaman, dan beliau jugalah yang telah berjihad untuk menyiarkan Islam dan akhlak yang mulia serta yang telah menyelamatkan kita dari zaman jahiliyah sampai mahiriyah.
Dan pemakalah ini juga tidak akan berjalan sempurna tanpa adanya bantuan dan bimbingan baik dari segi moril dan materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pemakalah dengan sepenuh hati akan menghaturkan terima kasih kepada:
1.      Bpk Ahmad Faroji
2.      Teman-teman pemakalah yang telah ikut serta dalam pembuatan makalah ini.


Serang, 25 Oktober 2011


Pemakalah







Tidak ada komentar:

Posting Komentar