Jumat, 16 Maret 2012

etika bisnis


A.    Agama dan Etika
Pandangan Marx terhadap agama diambil dari Feurbach menyalahkan bahwa agama merupakan alienasi berdasarkan Hakikat manusia diberi bentuk dengan nama “Allah”. Akan tetapi, dengan penciptaan “Allah” ini, manusia diasingkan dari dunia kini dan Kalau manusia diletakkan di luar dirinya sendiri, ia kehilangan sesuatu yang amat penting. Dengan demikian, proses ini harus dikembalikan lagi supaya manusia dikembalikan kepada dirinya sendiri.
Kalau Feurbach hanya memperhatikan “bagaimana” menciptakan “Allah” dan surga, Marx menerangkan “mengapa”-nya Manusia percaya kepada Allah, akhirat, dan surga serta neraka, karena penderitaannya dari struktur sosial ekonomisnya yang telah menghimpitnya. (Juhaya S. Pradja, 2002: 113)
Bagi Marx dan para pengikut Marxisme, agama adalah candu bagi masyarakat, karena agama membius masyarakat untuk (tidak) mengatasi kesulitan sosial ekonominya.. Akan tetapi, bukan terapi. Manusia hanya sembuh jika ia bisa mengatasi alienasi sosial ekonomisnya yang merupakan alienasi religious.
Filsafat Marxisme mengingkari adanya prinsip-prinsip yang abadi alam etika dan tata susila Konsekuensinya segala teori moral merupakan hasil dari tingkatan ekonomi masyarakat pada masa tertentu, Karena masyarakat telah menjelma menjadi “perjuangan kelas”, tata susilanya pun tata susila keras.
Dengan demikian, segala cara untuk melaksanakan cita-cita perjuangan kelas, termasuk mengubah dan merobohkan masyarakat, semuanya baik. The end justifies the means. (tujuan menghalalkan segala cara yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab: al-ghayah tubarrir al-wasilah). Maka tidak heran jika berdusta, berkhianat, dan berbagai bentuk tipu muslihat, semuanya dinilai sah dan halal untuk dilakukan oleh kaum komunis. (Juhaya S. Pradja, 2002 : 113)
Menurut Marx, sebagaimana dikatakan oleh Kamenka bahwa etika tidak ada sangkut pautnya dengan pemasangan norma-norma abstrak dan daftar-daftar kewajiban. Jadi, dengan moralisme. Urusan etika adalah hal kebaikan. Kamenka mencoba memberikan deskripsi fenomenologis mengenai apa yang baik dan apa yang jahat. Baik adalah motivasi-motivasi yang bebas dan kreatif yang tidak memerlukan tekanan dari dalam atau perlindungan atau paksaan dari luar, yaitu kegiatan-kegiatan tanpa pamrih yang tidak takut pengetahuan dan tidak memerlukan kekeliruan. Kejahatan-kejahatan, meskipun tidak dapat dipunahkan bersifat benalu terhadap yang baik. Kejahatan tidak hanya menimbulkan konflik dengan yang baik, melainkan juga menimbulkan konflik dengan kejahatan lain. Kejahatan dilakukan demi pamrih berlawanan dengan sikap tanpa pamnih, represif bertentangan dengan kebebasan, kejahatan membuat habis bertentangan dengan sikap produktif. Yang baik menyertakan kecondongan khas pada gerakan-gerakan yang “mengatasi” individu, kepada cara-cara ludup di mana kita diangkat, yang jahat mendukung yang partikular Sifat sifat khas yang baik memperlihatkan diri dalam cinta kasih dan keberanian dan produktif, dalam kejujuran Si para kritisi dalam sikap lepas-bebas dari diri sendiri dan dalam dedikasi pada karya. Yang baik tidak memerlukan sensor, hukuman. perlindungan sebagai bagian cara kerjanya. (Thanz Magnis,1992 : 126).
Marx juga menolak daftar norma moral dari luar, dalam anti tuntutan hukum dan kewajiban. Bukan hanya karena ia, sama dengan Hegel, menolak moralisme, melainkan karena bertakluk terhadap norma-norma seperti itu berarti heteronomi bagi manusia. Adanya moralitas seperti itu dalam sebuah masyarakat menunjukkan bahwa masyarakat itu tidak utuh bahwa manusia terasing dari hakikatnya bahwa hakikatnya itu telah menjadi kekuatan asing yang berhadapan dengannya. Bagi Marx, menundukkan diri ke bawah moralitas semacam itu tidaklah etis.
Masyarakat yang dicita-citalcan Marx bersifat sosial, utuh, terbuka, yaitu manusia menarik kembali kekuatan-kekuatan hakikatnya yang terasing ke dalam dirinya sendiri Jadi, masyarakat yang tidak lagi berdasarkan akomodasi lahiriah egoisme-egoisme yang hanya berdasarkan paksaan negara atau pertimbangan untung-rugi, melainkan berdasarkan kerja sama dan komunikasi bebas dan spontan.
B.     Emansipasi Manusia Karl Marx
Karya Marx berdasarkan pengakuan implisit perbedaan antara apa yang baik, yang menunjukkan diri dalam kerja sama dan komunikasi bebas, dan apa yang jahat, yang selalu ada unsur penindasannya. Demikianlah pengartian Kamenka (diuraikan oleh Franzx Magnis Suseno) terhadap distingsi Marx antara universalitas yang hanya numerik (dalam arti memuat semua unsur dalam wilayahnya) dan yang dikualitatifkan (dimana universalitas masuk ke dalam penghayatan masing-masing unsur). Nafsu memiliki bertabrakan dengan nafsu memiliki, kerakusan dengan Kerakusan, keamanan mengancam keamanan. Juga kalau benar bahwa semua orang mendukung tuntutan-tuntutan itu, fakta bahwa semua yang dituntut beliau membentuk kepentingan bersama. Semua tuntutan hanya untuk kepentingan negara, bukan kepentingan manusia, dan semua tuntutan hanya untuk kepentingan sejatinya pribadi bukan sejatinya manusia. (Fanz Magnis,1992 : 127)
Marx pernah memancarkan pesona kuat ke dalam kalangan kaum buruh maupun, barangkali lebih, ke dalam kalangan kaum cendekiawan. Gerakan New Left di universitas-universitas dunia Barat tahun enam puluhan abad ini membuktikan hal tersebut. Sekarang, Marx tidak banyak dibicarakan lagi. Barangkali, itulah situasi untuk melihat pemikiran Marx dengan lebih tenang.
Di antara sekian banyak sudut teori Marx yang dapat diselidiki, ada tiga pokok yang mendasari teori Karl Marx dan dapat menjelaskan mengapa pikirannya begitu atraktif: (1) “Imperatif kategoris” emansipasi manusia; (2) paham tentang pekerjaan sebagai perwujudan diri manusia dan (3) ajarannya tentang perubahan revolusioner struktur-struktur sosial. (Juhaya S. Pradja, 2002 : 113)
Marx menuntut secara kategorik emansipasi manusia. Emansipasi itu baru tercapai apabila manusia membebaskan diri dari segala heteronomi dan dapat berkembang secara bebas dan utuh sesuai dengan kekayaan hakikat sosialnya. Tuntutan itu berdasarkan penilaian spontan Marx bahwa tindakan-tindakan baik adalah tindakan-tindakan baik adalah tindakan-tindakan yang dilakukan bukan karena takut atau tekanan atau kepentingan tertentu, melainkan. mengungkapkan spontanitas, keterbukaan, kegembiraan berproduksi, kejujuran, dan objektivitas. Tampaknya, itulah penilaian fundamental yang mendasari seluruh karya Marx, meskipun tidak pernah diungkapkan secara eksplisit. (Franz Magnis, 1992 : 128)
Dengan bertolak dari Feurbach. Marx mengkritik agama. Baginya, agama hanyalah proyeksi sifat-sifat hakikat manusia ke dalam surga. Di depan sifat-sifat hakikatnya sendiri yang sekarang mandiri sebagai makhluk-makhluk surga, manusia membungkukkan lututnya. Bagi Marx, sikap berlutut itu tidak pantas. Pertama, karena manusia membungkuk terhadap kekuatan di luarnya. jadi, menjadi heteronom. Kedua, karena kekuatan itu hanyalah kekuatan-kekuatan manusia sendiri. Jadi, manusia mengosongkan diri dan memisahkan diri dari kemungkinan untuk merealisasikan identitasnya.
Akan tetapi, Marx memperdalam kritik Feurbach itu. Menurut Marx, manusia hanya dapat memproyeksikan hakikatnya ke dalam surga, karena ia sudah terasing daripadanya. Oleh karena itu, agama bagi Marx adalah sekunder. Yang seharusnya dikritik adalah keterasingan nyata manusia dalam masyarakat modern. Karena apabila aku menyangkal kuncir yang berbedak, aku masih tetap mempunyai kuncir yang tidak berbedak. Kritik surga berubah menjadi kritik bumi, kritik agama menjadi kritik hukum, kritik teologi menjadi kritik politik. Tuntutan emansipasi manusia membawa Marx secara konsekuen kepada kritik masyarakat. (Fanz Magnis, 1992 : 129)
Emansipasi manusia perlu diusahakan dan bahwa emansipasi itu tercapai apabila manusia dapat mewujudkan diri secara bebas dan heteronomi, secara sosial, bebas dari kepentingan, secara produktif. Pengandaian itu memberikan perspektif menarik bagi sebuah pasal Marxisme yang sangat problematis. Anggapan bahwa cara produksi kehidupan material ... mempersyaratkan proses kehidupan sosial, politis dan rohani pada umumnya.
Dengan memasukkan prinsip-prinsip moral ke dalam bangunan atas, Marx menyangkal bahwa prinsip-prmsip itu merupakan faktor-faktor sejarah primer. Sebaliknya, ia menunjukkan pada hubungan-hubungan ekonomis. Marx mengartikan tuntutan-tuntutan moral sebagai tuntutan-tuntutan atas nama kewajiban, sebagai keharusan-keharusan yang dipasang oleh kaum moralis agama atau fiosofis. Tuntutan-tuntutan itu datang dari luar sehingga bersifat heteronom. Kebebasan dan kemanusiaan sejati, kesosialan yang benar, tidak memerlukan tuntutan-tuntutan normatif yang luar, melainkan hanya dapat lahir dari manusia konkret dalam hubungan-hubungan sosial konkret sebagai gerakan bebas.
Karl Marx berlandaskan sebuah pengertian antropologis fundamental bahwa manusia adalah hasil pekerjaannya sendiri. Marx telah mengembangkan pengertian ini dengan jelas dalam naskah-naskah Paris tahun 1844 dan meskipun ia kemudian menukarkan bahasa yang waktu itu masih berbau Hegel dan Feurbach, alias metafisi, dengan bahasa yang lebih empirik, pengertian itu tetap fundamental bagi seluruh karya marx kemudian.
Marx mengakui bahwa pengetian dasar tentang pekerjaan sebagai perealisasian diri manusia ditemukan oleh Hegel. Yang besar pada fenomenologi Hegel ialah bahwa ia memahami hakikat pekerjaan serta mengerti manusia yang objektif yang benar karena nyata, sebagai hasil pekerjaannya sendiri. Akan tetapi, kalau Hegel puas dengan pengertiannya menganggap dunia sudah. diperdamaikan, Marx menemukan dua pengertian ini kunci bagi pengertian bagi sejarah yang lampau maupun yang akan datang.
Marx memahami manusia sebagai makhluk objektif. Maksudnya ialah bahwa manusia selalu menemukan diri dalam dunia, kata Marx, “dalam alam”. Dengan demikian, manusia baru nyata apabila ia mengobjektifkan ke dalam dunia. Sekaligus alam itu harus disesuaikan dengan kebutuhan manusia. Untuk itu, manusia bekerja.
Penting untuk memerhatikan dengan tepat apa yang terjadi dalam pekerjaan. Ada dua hal yang terjadi. Di satu pihak, manusia mengubah sebuah objek alami. Objek itu tidak lagi sama eperti sebelum dikerjakan. Ia menerima bentuk baru, bentuk yang diberikan kepadanya oleh si pekerja. dengan kata lain, melalui pekerjaan, alam menerima bentuk manusia menjadi alam manusiawi. Jadi, manusia memamerkan dalam alam kemampuan-kemampuannya, menurut Marx: kekuatan-kekuatan  hakikatnya. Alam yang telah dikerjakan menjadi saksi tentang apa yang menjadi kemampuan mnusia. Jadi, meliputi juga tentang apa manusia Kita dapat mengatakan bahwa melalui pekerjaan, manusia alam menjadi objektivitas kekuatan-kekuatan hakikat manusia.
Dengan demikian, segi yang kedua juga terungkap. Dengan mengeluarkan kekuatan-kekuatan hakikatnya pada alam, manusia membenarkan atau membuktikan dininya. Apa yang sebelumnya hanya berupa bakat dan kemungkinan semata-mata, melalui pekerjaan, hal tersebut menjadi kenyataan. Karya manusia memberi kesaksian tentang apa manusia itu. Bahkan, hanya melalui tindakan, manusia dapat ke luar dan kemungkinan umum dan masuk ke dalam kenyataan konkret dan jelas. Oleh karena itu, pekerjaan merupakan perealisasian diri manusia.
Manusia selalu menemukan diri dalam sebuah dunia yang tertentu. Dunia ini diubah melalui pekerjaan. Bagaimana ia melakukan bergantung, kecuali dan kecakapan-kecakapannya, terutama dan tingkat perkembangan alat-alat kerjanya dan dan bentuk dunia di dalamnya, ia menentukan diri. Dengan mengubah dunia yang ditemuinya itu, manusia sekaligus mengubah ruang tempat generasi berikut umat manusia akan menemukan diri. Generasi-generasi beriikut harus bergulat dengan sebuah dunia yang diambil alih dari pendahulu-pendahulunya; dengan alat kerja, keterampilan teknis dan kecakapan tertentu. Dengan demikian, setiap generasi berdasarkan generasi yang sebelumnya.
Itu juga berlaku ke belakang. Dunia kita sekarang sebenarnya bukan alam alami. Ia adalah hasil pekerjaan semua generasi yang mendahului kita. Alam sebagaimana kita menemukannya sekanang adalah karya manusia. Oleh karena itu, Marx menyebut sejarah industri “buku terbuka kekuatan-kekuatan hakikat manusia”, sebagai “penyingkapannya yang eksoteris”. Industri adalah sejarah pembentukan umat manusia yang telah menjadi alam.
Manusia dalam arti. kata yang sebenarnya adalah produk pekerjaannya sendiri. “Bagi manusia sosialis, semua yang dikatakan sejarah dunia merupakan penciptaan manusia melaku pekerjaan manusia terjadinya alam bagi manusia”. Tepatnya, umat manusia yang meneruskan dirinya sendiri dalam sejarah, membuat dirinya sendiri. Itu tidak hanya berlaku bagi produksi material, tetapi juga berlaku bagi kehidupan rohani dan kultural manusia. Hegel sudah melihatnya bahwa sejarah bukanlah sederetan peristiwa kebetulan, melainkan di dalamnya terungkap sebuah roh objektif. Akan tetapi, menurut Marx, Hegel masih tinggal dalam alam pikiran abstrak. Marx mengatakannya secara “materialis”, lebih tepat realis. Bukan roh objektif yang mengungkapkan diri, melainkan umat manusia di mana satu generasi berada di atas pundak generasi yang satunya. Untuk itu, Habermas merumuskan istilah “kegiatan transendental” karena pekerjaan konkret empiris, generasi yang satu menyediaan ruang yang merupakan syarat kemungkinan kegiatan empiris generasi berikut.
Habermas mengkritik bahwa Marx mereduksi manusia pada pekerjaan. Menurut Habermas, Marx tidak memerhatikan tindakan dasar manusia yang satu lagi yang sebenarnya diandaikannya sendiri dalam ajarannya tentang masyarakat dan merupakan prasyarat pengembalian kebebasan. Tindakan dasar interaksi yang sekaligus membuat manusia mampu untuk berefleksi. Sebelum segala mediasi oleh pekerjaan, manusia selalu berhubungan dengan manusia lain.
Dengan demikian, Marx tidak dapat menghindar dari determinisme dangkal. Unsur kebebasan dan otonomi justru hilang dari pengertian perkembangan manusia Ternyata, Marx tidak pernah menyangkal interpretasi deterministik yang diberikan Engels atas pemikirannya.
Otonomi yang memang sangat deterministik dibandingkan dengan determinisme sebuah proses alami. Dengan demikian konsepsi Marx menjatuhkan manusia ke dalam heteronomi yang sebenarnya hendak diatasnya sendiri. Ajaran tentang sifat jimat komodita yang dengan sendiri berbau jimat, karena Marx menjadikannya jimat simpul Gordik semua keburukan umat manusia dalam bentuk yang diberikan Marx itu tidak dapat dipertahankan. Karena ajaran ini berdasarkan anggapan bahwa seluruh nilai ekonomis (nilai tukar) semata-mata diciptakan oleh pekerjaan tangan. Anggapan ini sekarang tidak diterima lagi. (Fanz Magnis Speno, 1992 : 143).
Bagi Marx, perubahan sosial hanya dapat berjalan melalui revolusi. Marx menganalisis bahwa hubungan-hubungan yang ditentukan oleh kapitalisme tidak sesuai dengan manusia. Dengan demikian, anailsis itu sekaligus memuat seruan agar hubungan-hubungan itu diubah. Marx menuntut revolusi. Revolusi yang menurut Marx merupakan hasil tak terelakkan berdasarkan hukum-hukum objektif perkembangan masyarakat, dapat sekaligus dijadikan objek agitasi politis.
Emansipasi hanya dapat tercapai melalui penghapusan hak milik pribadi atas alat-alat produksi. Mengingat hak milik pribadi itu merupakan dasar seluruh sistem masyarakat sekarang hal itu berarti bahwa seluruh sistem itu perlu diigulingkan, maka revolusi tak terelakkan.
Jadi, Marx berpendapat bahwa struktur masyarakat sendiri perlu diubah, Keadaan sosial yang buruk, kenyataan keterasingan, tidak berakar dalam kejahatan individual, melainkan dalam struktur kapatalis masyarakat. Dengan demikian, Marx mendobrak paksaan sistem. Siapa yang sungguh sungguh terlibat pada penghapusan ketidakadilan dan penghisapan, yang ingin membangun dunia yang manusiawi dan adil, menurut Marx tidak boleh puas dengan tindakan tambal sulam, melainkan harus meruntuhkan sistem sendiri yang struktur-strukturnya mendasari keadaan buruk itu. (Fanz Magnis Suseno, 1992 : 142)
Dengan mengalihkan pandangan dari dataran moralisme dan moralitas individual ke struktur-struktur sosial, dengan menunjukkan bahwa sebuah sistem sosial bukan sesuatu yang tak berubah sejak awal zaman, melainkan perlu dipertanyakan. Marx memberikan sumbangan penting dan lestari terhadap pemecahan problem-problem masyarakat manusia yang dengan segala kata yang tepat pun tidak dapat digelapkan.
Pandangan materialis sejarah Karl Marx sebagaimana khas bagi posisinya yang definitif dan yang masuk ke dalam Marxisme, mencoba menjelaskan keniscayaan revolusi dan kontradiksi-kontradiksi internal sistem kapitalisme. Ramalan Marx ternyata meleset. Sistem kapitalisme tidak rubuh dalam revolusi sosialis.
Bahwa manusia selalu menemukan diri dalam struktur-struktur sosial tertentu dan bahwa struktur-struktur itu merupakan kerangka acuan bagi tindakan-tindakannya, hanya membuktikan bahwa ia harus memerhatikan struktur-struktur itu, dan bukan berarti bahwa ia tidak dapat mengubahnya. Sebaliknya. Marx mengandaikan bahwa manusia dalam pekerjaannya terus menerus membangun, dan itu berarti mengubah struktur-struktur itu. Dengan demikian, anggapan bahwa segala macam dapat dihapus, dan hanya dapat dihapus melalui pengubahan revolusioner struktur-struktur itu adalah pernyataan yang sekaligus kurang dan berlebihan. Kurang karena pembongkaran struktur tidak adil yang lama mesti menghasilkan struktur yang lebih adil. Berlebihan karena tidak terbukti bahwa penghisapan dan penindasan hanya dapat dikurangi melalui revolusi. Sekaligus perlu diragukan bahwa masuk akal berbicara tentang penghapusan total segala penghisapan dan penindasan. Bukankah harapan semacam itu utopis? Bukankah lebih masuk akal kalau usaha bersama diarahkan pada sasaran pengurangan penghisapan dan penindasan selangkah demi selangkah daripada pada utopi suatu penghapusannya? Jadi, pengandaian dasar Marx bahwa keadaan masyarakat hanya dapat diperbaiki melalui revolusi tidak berdasar dan menyesatkan. dan tidak akan ada perbaikan real menjadi utopis. Apabila manusia hanya ditentukan oleh struktur-struktur, berarti segala macam sosial juga terletak dalam manusia sendiri. Hal itu dalam struktur apa pun penghisapan dan penindasan dapat saja terjadi (hal mana tidak berarti bahwa struktur bukan hal penting; tentu kita perlu berusaha mewujudkan struktur-struktur yang menunjang hubungan sosial yang adil). Kalau seluruh keselamatan diharapkan dari revolusi, bisa juga kita salah perhitungan. Revolusi, daripada mewujudkan emansipasi, malahan melahirkan represi-represi baru.


KATA PENGANTAR


Assalamu’alaikum Wr. Wb

      Segala puja dan puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan kita kesehatan jasmani maupun rohani.
      Shalawat beserta salam kita sanjungkan kepada baginda kita Nabi Besar Muhammad SAW, yang mana beliau telah membawa umat Islam dari zaman zahiliyah menuju zaman Islamiyah yang Alhamdulilah telah kita rasakan sekarang ini.
      Kami sangatlah bersyukur kepada Illahi Robbi yang telah memberikan kemudahan kepada kami sebagai penulis makalah ini, berkat bantuannyalah kami bisa menyelesaikan makalah ini walaupun masih banyak kekurangan dan kesalahan yang penulis buat maupun disengaja atau tidak dalam penyusunan makalah ini karena manusia itu sesungguhnya tidak ada yang sempurna selain yang Maha Esa yaitu Allah SWT.
      Kami mengucapkan berterima kasih banyak kapada Allah SWT yang telah membantu kami dari segi kesehatan dan wawasan dalam pembuatan makalah ini, kepada Nabi Besar Muhammad SAW, Kepada orang  tua dan segenap keluarga, Kepada Ibu/Bapak Dosen dan teman – teman yang telah memotivasi kami untuk menyelesaikan makalah ini.
      Sekali lagi kami meminta maaf atas kekurangan dan kekhilafan yang kami buat dalam pembuatan makalah ini.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Serang,  Oktober 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar